Friday, October 2, 2015

Memahami Khilafiah


BAB II
KHILAFIAH


A. PENGERTIAN KHILAFIAH (IKHTILAF)
Khilafiah/ikhtilaf itu sendiri merupakan term;yang diambil dari bahasa Arab yang
berarti berselisih, tidak sepaham. Sedangkan secara terminologis fiqhiyah, khilafiyah adalah perseiisihan paham atau pendapat dikalangan para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Dengan demikian, masalah khilafiah merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum Islam.
B. SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT
Berbagai-bagai sebab telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, yang pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitupertama, perbedaan pendirian tentang kedudukan sumber-sumber hukum, apakah bisa dijadikan dasar penetapan hukum atau tidak. Kedua,perbedaan pendirian tentang aturan-aturan bahasa dalam pemahaman terhadap sesuatu nash (Alquran dan Alhadits).
1. Kedudukan Sumber-sumber Hukum
Sumber-sumber hukum yang diperselisihkan kedudukannya tersebut ialah hadits Nabi saw, ijma', qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan 'urf. Tentang kedudukan Alquran sebagai sumber hukum, tidak dipermasalahkan lagi dari semua seginya. Akan tetapi dari segi nash-nash Alquran bisa terjadi perselisihan pendapat, dan hal ini termasuk dalam pembicaraan tentang sebab yang kedua. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan diperincikan perselisihan-perselisihan yang timbul sekitar kedudukan sumber-sumber hukum, di antaranya mengenai hadis, ijma', dan qiyas sebagai berikut.
v  Hadits
Kedudukan hadis sebagai sumber hukum dalam garis besamya ddak lagi diperselisihkan oleh para fiiqaha. Akan tetapi, perselisihan tnercka bisa terjadi mengenai segi-segi lain seperti berikut
1)  Sampai atau tidaknya sesuatu hadits
Menurut Sahabat Ali dan Ibnu Abbas, istri yang ditinggal mati suaminya sedangkan ia dalam keadaan hamil, maka ia harus menjalani 'iddah yang tcrpanjang. Terhadap istri tersebut sebenarnya terkena dua macam 'iddah yaitu iddah sebagai istri hamil, yakni sampai melahirkan kandungannya, dan 'iddah sebagai istri yang ditinggal mati suaminya, yakni empat bulan sepuluh hari. Dalam keadaan hamil muda, tentunya masa 'iddah akan lebih panjang dari empat bulan sepuluh hari, akan tetapi dalam keadaan hamil tua, boleh jadi masa ini akan lebih pendek dari masa empat bulan sepuluh hari. Sehingga menurut kedua sahabat tersebut, istri tersebut harus menambah tiga bulan sepuluh hari lagi. Apa yang mendorong kedua sahabat tersebut imtuk berpendirian demikian ialah, karena keduanya tidak mendengar adanya hadits Rasulullah saw, tentang Sabi'ah Al-aslamiyah, dimana Rasulullah mengatakan kepadanya, bahwa 'iddahnya ialah hanya sampai melahirkan kandungannya.
2)  Percaya atau tidaknya terhadap seseorang perawi hadits.
Sebagaimana dimaklumi, tidak semua perawi hadis mempunyai tingkatan yang sama tentang dapat dipercaya dan tentang ketelitian serta ingatannya. Bahkan di antaranya ada yang diragukan kejujurannya, tidak kuat ingatan dan kctclitiannya atau periwayatannya menimbulkan keragu-raguan, karena hadis yang diriwiyatkan berlawanan dengan kctentuan Alquran atau hadis yang masyhur. Keadaan scmacam ini terjadi pada zaman sahabat, yakni pada masa-masa pertama Islam dan pada masa sesudahnya lebih-lebih lagi keadaannya. Sebagai contoh ialah tenlang nafakah dan tempat kediaman (sukna) selama 'iddah bagi bekas istri yang dicerai ba'in (cerai tiga kali). Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu sebagai berikut.
Pendapat pertama, dari Sahabat 'Umar ra,, yang menyatakan bahwa bekas istri yang dicerai ba' in mendapat nafakah dan tempat tinggal. Alasannya adalah Firman Allah swt : 
w  Æèdqã_̍øƒéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/
Artinya:
"Janganlah kamu keluarkan istri dari rumahnya." (Attalaq/65: 1)
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y
Artinya:
"Tempatkan istri di mana kamu bertempat tinggal menurut kemarhpuanmu." (Attalaq: 6)

Ketentuan ayat tersebut berlaku untuk semua istri yang dicerai. Jadi kalau istri harus tetap bertempat tinggal di rumah bekas suami, maka artinya ia terkurung, dan karena terkurungnya ini maka ia harus mendapat nafkah. Pendapat kedua dari beberapa sahabat lainnya mengatakan bahwa bekas istri tersebut hanya mendapat tempat tinggal, sedang untuk nafkah tidak memperolehnya sama sekali. Alasannya adalah karena adanya hukum kebalikan (dalilul-khitab) dari firman Allah swt. dalam Surat Attalaq ayat 6. Artinya kalau istri (yang dicerai) sedang hamil, maka berikanlah nafkah untuknya sehingga ia melahirkan kandunganrya. Jadi kalau demikian bagi istri yang tidak hamil tidak mendapat nafkah.Pendapat ketiga, sahabat yang lain mengatakan bahwa bekas istri tersebut tidak mendapat apa-apa, baik nafkah maupun tempat tinggal. Pendapat ini juga dipegangi oleh Al-Hasan Al-Basri, 'Atha, dan As-Sya'bi. Alasannya ialah adanya suatu hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat wanita bernama Fathimah binti Qais, yang teiah dicerai ba'in oleh bekas suaminya, yaitu Abu 'Umar bin Hafas. Fathimah tersebut mengadu kepada Rasulullah saw., tentang tidak mencukupinya jaminan dari bekas suaminya. Maka Rasulullah saw., berkata kepadanya: "Ia tidak berkewajiban untuk memberikan nafakah kepadamu." Menurut riwayat lain Rasulullah Saw, bersabda kepadanya: "Tidak ada nafakah ataupun tempat tinggal bagimu." Setelah Sahabat Umar ra. mendengar hadis tersebut, maka ia berkata: "Aku tidak akan mengesampingkan kitab Tuhan (Quran) dan Sunah Nabi saw. kita hanya karer.a kata-kata seorang perempuan, yang tidak aku ketahui, apakah ia masih ingat ataukah sudah lupa. Menurut riwayat lain : Bolehjadi ia tidak tahu atau lupa. Ia berhak memperoleh tempat tinggal dan nafkah ".

Sikap yang sama juga diambil oleh Siti' Aisyah r.a., istri Nabi saw., ketika ia meminta kepada Marwan, sebagai Gubemur Madinah, untuk mengembalikan bekas istri Yahya bin Sa' id Al-Ash yang telah dicerainya ketempat yang semula, maka kata Marwan kepada Siti 'Aisyah r.a.: Apa engkau tidak mendengar hadis Fathimah binti Qais, maka jawabnya: "Tidak mengapa kalau engkau tidak mengingat-ingut hadis Fathimah binti Qais." Dari keterangan tersebut di atas, kita mengetahui bahwa bagi mereka yang tidak memakai hadis Fathimah binti Qais, maka sebabnya ialah karena hadis tersebut dianggap tidak benar. Kalau sekiranya dianggap benar oleh semua fuqaha tersebut tentu tidak akan terjadi perselisihan pendapat
3) Sahih atau tidaknya sesuatu hadis
Sebagai akibat dari banyaknya periwayatan terhadap hadis-hadis nabi, bermacam-macam keadaan si perawi dari segi kejujuran, ketelitian dan ingatan, bermacam-macamnya jalan periwayatan hadis atau tidaknya, sampai atau tidaknya ujung periwayatan hadis kepada rasul, mendengarnya si perawi dari gurunya langsung atau tidak, penyendiriannya periwayatan seseorang perawi atau ada orang lain yang meriwayatkan hadis yang sama, dan keadaan-keadaan lain dari pada periwayatan hadis, sebagai akibat dari pada itu semua, maka timbullah pembagian hadis nabi kepada hadis-hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis Ahad dibagi menjadi hadis sahih, hasan, dan dha'if. Terhadap hadis sahih dan hasan, maka tidak ada seorang fuqahapun yang tidak memakainya, akan tetapi perselisihan btsa terjadi mengenai sahih atau tidaknya sesuatu hadis, di mana menurut seseorang dianggap sahih sedang menurut orang lain dianggap tidak sahih. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan penilaian terhadap hal-hal yang menyangkut segi periwayatannya, seperti seorang perawi bisa dipercaya oleh seseorang sedang oleh orang lain tidak, atau ia dianggap mendengar sendiri dari gurunya, sedang menurut penyelidikan orang lain tidak mendengar sendiri, atau seseorang perawi bukan dari golongannya sendiri, atau adanya penetapan syarat-syarat kesahihaan sesuatu hadis yang tidak dianggap perlu oleh orang lain. Sebagai contoh di sini ialah mengenai orang puasa yang makan karena lupa. Menurut Ulama Madzhaf Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali, orang tersebut meneruskan puasanya tanpa qadha' lagi (mengulangi puasa). Mereka berdasarkan hadis yang dipandang shahih, dan diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari sahabat abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw sebagai berikut."Jika orang yang sedang berpuasa makan atau minum karena lupa, maka ia (makan atau minum) adalah rezeki yang diberikan oleh Allah kepadanya dan tidak ada qadha atasnya". Menurut Imam Malik, Ibnu Abnu Abi Laila dan beberapa Ulama Syi'ah, menganggap bahwa hadis tersebut tidak shahih, oleh karena itu orang puasa yang makan atau minum karena lupa tersebut puasanya batal dan hams diqadha.
4) Pembagian hadis dha'if
Para fuqaha membagi hadis dha'if menjadi dua bagian, yaitu pertama hadis dha'if yang lemah sekali sehingga tidak memberikan dugaan sedikitpun terhadap kebenaran isinya. Hadis semacam ini tidak boleh dipakai dengan kesepakatan para fuqaha karena memperhatikan sesuatu hukum kepada syara' harus didasarkan dalil yang pasti (yakin) atau dalil dhanny (dugaan kuat) yang menunujukkan bahwa hukum tersebut adalah hukum dari Tuhan. Kedua, hadis dha'if yang tidak begitu lemah, dan hadis menurutt ulama berbeda-beda pendapat. Menurut jumhur fuqaha, hadis tersebut boleh dipakai, sedang menurut fuqaha lain seperti fuqaha Dhahiri, hadis tersebut tidak boleh dipakai, karena hadis tersebut menimbulkan keragu-raguan terhadap kedudukannya sebagai landasan perbuatan kita. Ada pula fuqaha yang mau memakai hadis dha'if, apabilabanyak jalannya dan ada penguatnya, atau apabila sesuai dengan hasil qiyas. Contoh, syarat kufu' (kesebandingan) dalam nikah, di mana sebagian fuqaha memakainya seperti I'lama-ulama Hanafi, sedang ulama lain tidak memakainya, seperti ulama Dhahiri. Adapun yang menjadi dasarnya adalah hadis sebagai berikut. "Ingatlah, tidak mengawinkan orang-orang perempuan 'kecuali wali-walinyamereka tidak dikuwinkan melainkan dari orang laki-luki yting sebanding dan tidak ada maskawin yang kurang dari sepuluh dirham." Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Baihaki dan Ad-Daruquthni, masing-masing dari Mubasyir bin' Ubaid. Menurut Imam Ahmad bahwa hadis tersebut adalah maudhu' (palsu), sedangkan Imam Hanafi hadis tersebut bisa dipakai.
5)  Perlawanan antara dua hadis ahad
Sebenarnya antara hukum-hukum syara, tidak terdapat perlawanan satu sama lain, sebab kesemuanya berasal dari Tuhan, baik berupa Alquran maupun Alhadis. Kalau kita melihat adanya perlawanan/perbedaan antara dua hadis, maka hal ini disebabkan karena kita tidak mengetahui suasana keluarnya nash-nash tersebut atau pcrkara-perkara yang karenanya hadis-hadis tersebut dikeluarkan, atau tidak dikctahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian atau karena kita tidak mengetahui scc.ira p.isti pengertian (maksud) dari dua hadis tersebut. Boleh jadi salah satu hadis bcrhubungan dengan sesuatu peristiwa, sedang hadis lain berhubungan dengan peristiwa lain. Misalnya soal penciuman orang yang sedang berpuasa terhadap istrinya. Diriwayatkan bahwa nabi pernah melarang seseorang yang berpuasa untuk mencium istrinya, dan diriwayatkan pula bahwa ia pernah memperbolehkan orang lain yang jiiga berpuasa untuk mencium istrinya. Sebenarnya antara dua riwayat tersebut tidak ada perlawanan, sebab yang dilarang adalah seorang muda yang dikhawatirkan akan mendatangkan kepada perbuatan-perbuatan berikutnya lagi, sedang orang yang diperbolehkan mencium adalah orang yang sudah tua, di mana soal penciuman baginya tidak dikhawatirkan akan mendatangkan perbuatan berikutnya yang dapat merusak puasa. Boleh jadi perlawanan yang tampak adalah disebabkan karena hadis terbelakang sebenarnya membatalkan hadis yang terdahulu, karena sudah berbeda suasana dan keadaannya, akan tetapi kedua hadis tersebut sampai kepada kita tanpa dipertalikan kepada keadaan dan suasana dikeluarkannya, dan oleh karena itu kita mencari segi-segi kekuatan pada salah- satunya, terkena! dengan nama "tarjih". Oleh karena cara-cara melakukan tarjih tidak sama, maka perbedaan pendapat juga tidak dapat dihindarkan. Seseorang boleh jadi mengambil salah satu hadis yang dipandangnya lebih kuat, tetapi fuqaha lain menganggap kuat terhadap hadis yang dianggap tidak kuat oleh fuqaha pertama. Atau boleh jadi kedua hadis tersebut dipakai kedua-duanya, di mana salah satu hadis untuk keadaan tertentu dan hadis satunya untuk keadaan lain. Demikian antara lain perselisihan para ulama tentang hadis sebagai sumber hukum.
v  Perbedaan Pendapat Karena Ijma'
Pada masa rasulullah saw., tidak ada pembicaraan tentang ijma' sebagai sumber hukum syara', karena sumber segala hukum syara' adalah Rasulullah saw. Akan tetapi setelah Rasulullah saw. wafat, dan setelah kaum muslimin mengalami sesuatu peristiwa hukum yang tidak pernah dialami sebelumnya yang dengan sendirinya tidak pernah menanyakan hukumnya kepada Rasulullah saw., maka bagaimanapun juga mereka harus mencari ketentuan hukumnya. Bagi mereka tidak ada cara lain kecuali harus mempelajari dan menggali apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah saw, berupa Alquran dan hadis disamping menerapkan aturan-aturan pokok yang telah mereka peroleh selama pergaulan dengan Nabi saw. Jawaban mereka yang mempelajari hukum peristiwa-peristiwa yang terjadi kadang-kadang sama dan merupakan kebulatan pendapat, tapi kadang-kadang jawaban, mereka juga berbeda-beda. Terhadap pendapat yang masih diperselisihkan, maka diserahkan kepada khalifah untuk dipakai atau tidaknya. Sebagai contoh disini antara lain ialah masalah menjatuhkan talak tiga kali dengan sekaligus. Jumhur Ulama Fuqaha, termasuk imam-imam mazhab yang empat, mengatakan bahwa talak tiga dengan sekaligus jatuh tiga juga. Alasan-alasan mereka ialah adanya ijma' (kebulatan pendapat) atas jatuhnya tiga talak tersebut pada masa Khalifah Umar r.a. Diriwayatkan bahwa talak tiga yang dijatuhkan sekaligus pada masa-masa Rasulullah saw. dan Khalifah Abu Bakar ra., jatuh satu saja, yakni menjadi talak raj'i. Akan tetapi Khalifah Umar r.a. memandang perlu untuk dianggap jatuh tiga juga, agar menjadi pengajaran bagi orang yang suka menjatuhkan tiga talak sekaligus. Tindakan Khalifah Umar tersebut kemudian disetujui oleh para sahabat dan persetujuan tersebut dianggap sebagai ijma'. "Dalam musnad Munad, diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata sebagai berikut: Rukanah bin Abdi Yazid menceraikan istrinya tiga kali dalam satu majlis (tempat), kemudian ra menjadi susah sekali atas istrinya tersebut. Maka Nabi saw., bertanya kepadanya: Bagaimana cara kamu menceraikannya ?. Jawab Rukanah: Saya cerakan dia tiga kali dalam satu majlis. Maka berkata Nabi saw.: Itu hanya satu kali talak, maka kembalikan dia". Meskipun ada hadis tersebut, namun karena adanya anggapan telah terjadinya ijma' atas jatuhnya talak tiga juga pada masa Umar r.a. maka para fuqaha tidak mau menerima hadis tersebut dan memakai ketentuan yang telah dipakai sebelum masa Umar ra., dengan alasan bahwa terjadinya ijma' atas sesuatu perkara yang berbeda dengan ketentuan hadis tersebut menunjukkan adanya sesuatu nash yang telah membatalkan hadis tersebut telah berakhir, atau karena keluarnya hadis tersebut dipertalikan dengan hal-hal yang kemudian tidak terdapat lagi.
v  Perbedaan Pendapat Karena Qiyas
Dengan wafatnya Rasulullah saw., maka para sahabat terpaksa harus memeras otak untuk mengetahui hukum sesuatu peristiwa yang dihadapi. Kalau peristiwa tersebut ada kemiripannya dengan apa yang pernah terjadi pada masa rasul, maka mereka tinggal menerapkan hukum yang telah ada, dan kalau tidak ada kemiripannya, maka mereka dalam menetapkan hukum kadang-kadang berpedoman pada jiwa syariat yang umum, atau menghapuskan kesempitan tanpa mempunyai syarat-syarat dan aturan-aturan penetapan hukum yang dikenal pada masa kemudiannya. Cara-cara yang sama juga dipakai oleh fuqaha-fuqaha angkatan berikutnya. Akan tetapi, pada masa kemudian timbullah orang-orang yang memakai cara-cara tersebut bukan pada tempatnya, dan sebagai akibatnya sudah barang tentu. adalah penetapan hukum yang tidak tepat. Maka timbullah pembahasan tentang dalil-dalil hukum, syarat-syarat pemakaiannya dan cara-cara menerapkannya. Dari sini maka timbullah perselisihan tentang beberapa macam dalil (sumber) hukum, dan diantara ialah qiyas. Perbedaan pendirian tentang pemakaian qiyas sudah barang tentu menimbiilkan perbedaan dalam menetapkan hukum, sebab apa yang dketapkan hukumnyaberdasarkan qiyas oleh fuqaha pemakai qiyas akan dikembalikan hukumnya kepada kebolehan asli oleh fuqaha bukan pemakai qiyas. Sebagai contoh perbedaan pendapat karena qiyas ialah, mengenai hukuman minuman keras. Menurut Sahabat Ali r.a., hukumannya ialah delapah puluh kali cambukan (jilid), sebab seseorang apabila telah mabuk maka ia membuat fitnah, sedang hukuman memfitnah ialah delapan kali cambukan. Jadi minuman-minuman keras dipersamakan dengan membuat fitnah. Akan tetapi bagi fuqaha Dhahiri, disebabkan mereka tidak mau menggunakan qiyas, maka dalam penetapan hukuman bagi minuman-minuman keras mereka berpijak pada nash-nash syari'at yang umum, dan dalam hal ini, mereka menetapkan hukuman "ta'zir" artinya besarnya hukuman perbuatan tersebut diserahkan kepada kebijaksanaan penguasa sesuatu masa, bukan didasarkan atas batasan tertentu (had).

C. PEMAHAMAN NASH SEBAGAI FAKTOR TIMBULNYA PERBEDAAN      PENDAPAT
Hal-hal yang menimbulkan pemahaman yang berbeda terhadap nash-nash (dalil) pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian kata-kata tunggal dan pengertian susunan kata (uslub). Kata-kata tunggal tersebut ialah kata-kata musytarak, suruhan dan larangan, hakikat dan majaz, mutlak dan muqayyad. Adapun susunan kata-kata (uslib) yang menim-bulkan pemahaman yang berbeda ialah pengecualian dari kata-kata umum, mafhum mukhalafah, fahwul khitab, umumul muqtadha, istisna sesudah beberapa jumlah kata-kata. Berikut ini contoh-contohnya:
1.  Kata-kata Musytarak
Kata mustarak ialah kata-kata yang mempunyai pengertian rangkap. Misalnya kata-kata "quru' " pada firman Allah: 
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/spsW»n=rO &äÿrãè%
Artinya:
"Istri yang diceraikan suaminya harus menunggu dirinya (beriddah) tiga kali quru' ".
Kata-kata quru' ini mempunyai arti dua yaitu "suci" dan "haid". Kedua arti ini tidak bisa dipakai bersama-sama, melainkan hams diambil salah satunya. Menurut Imam Malik, Syafi'i, dan Dawud Ad-Dhahiri arti tersebut ialah "suci". Jadi menurut mereka iddah istri yang dicerai adalah tiga kali persucian. Menurut Imam Abu Hanifah arti tersebut ialah haid, dan kelanjutannya ialah bahwa iddah istri tersebut ialah tiga kali haid.
2.  Pengertian Suruhan dan Larangan
Dalam membcrikan suruhan/perintah dengan menggunakan bermacam-macam bentuk kata, scpcrti fi'il aniar, fi'il mudhari' yang disertai dengan lam amr dan kalimat berita yang bennakna perintah. Di kalangan fuqaha pengertian bentuk perintah tersebut masih diperselisihkan, apakah menunjukkan wajib atau sunah, kecuali kalau adaqarinuli. Sebagai contoh suruhan menulis perjanjian hutang piutang dan mendatangkan dua orang saksi pada firman Allah sebagai berikut.
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡Bçnqç7çFò2$$sù
 Artinya: "Wahai orang-orang yang heriman, jika kamu sating berpiutang dengan sesuatu hutang sampai masa tertentu, maka tuliskan hutang piutang tersebut." (Q.S. Albaqarah/2: 282)

Menurut jumhur fuqaha perintah-perintah tersebut hanya. bersifat irsyad saja (petunjuk) atau sunat, akan tetapi menurut ulama lain perintah tersebut menunjukkan wajib. Dalam memberikan larangan syara" juga memakai bermacam-macam bentuk dan mengehai pengertiannya masih diperselisihkan. Apakah menunjukkan haram atau makruh. Hal ini tergantung qarinahnya. Sebagai contoh ialah larangan mengadakan pembelian atau pinangan pada hadis berikut."Seseorang diantara kamu tidak boleh membeli atas pembelian (tawaran) saudaranya atau meminang atas pinangan saudaranya kecuali diizinkan kepadanya." Maksudnya membeli barang yang masih dalam penawaran orang lain atau meminang kepada wanita yang masih dalam pinangan orang lain. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa larangan tersebut adalah pasti dan perbuatan yang dilarang adalah haram. Kelanjutannya adalah bahwa pembelian atau perkawinan yang dilakukan dalam keadaari demikian tidak sah. Akan tetapi menunit fuqaha lain, larangan tersebut tidak pasti dan tidak haram, melainkan larangan etis yang bersifat tata krama. Kelanjutannya ialah pembelian dan perkawinan yang dilakukan dalam keadaan demikian letup sah. Fuqaha yang lain lag! mongalakan bahwa larangan tersebut menunjukkan haram juga, tetapi tidak berakibat sahnya pembelian atau perkawinan, karena larangan tersebut tidak bertalian dengan perbuatan itu sendiri, melainkan dengan hal-hal yang diluamya.
3.  Kata-kata Hakikat dan Majazi
Sesuatu kata-kata kadang-kadang dipakai dalam arti hakiki (arti yang sebenarny a) dan kadang-kadang dipakai dalam arti majazi (bukan arti yang sebenarnya). Hal ini ada pengaruhnya terhadap perbedaan pendapat bagi kalangan fuqaha. Sebagai aturan pokok sudah diakui oleh semua fuqaha, bahwa selama masih bisa memakai arti hakiki maka arti majazi tidak boleh dipakai. Tetapi perselisihan tentang arti hakiki bisa dimungkinkan. Juga tentang apakah arti dan majazi kedua-duanya bisa dipakai bersama-sama sekaligus atau tidak. Sebagai contoh ialah membaca surat Fatihah dalam shalat yang berpangkal pada hadis Rasulullah saw.:                                                                                         
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَاْ الفَا تِحَةَ
Artinya: "Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat Fatihah. "

Menurut sebagian fuqaha, hadis tersebut diartikan kepada arti hakiki, yakni shalat dianggap tidak sah (tidak ada) apabila tidak membaca Fatihah. Menurut Imam Hanafi, hadis tersebut diartikan arti majazi. Jadi yang ditiadakan adalah kesempurnaannya, yakni sesuatu shalat tidak akan sempuma apabila tidak 'membaca Fatihah. Kalau diartikan kepada arti hakiki tentu akan berarti membatalkan ayat Alquran yang berbunyi "Maka bacalah apa yang mudah berupa Alquran." Menurut ketentuan Alquran ini baik surat Fatihah atau bukan, asal berupa Alquran bisa dibaca. Menurut ulama-ulama Hanafiah dengan membaca sembarang ayat Alquran maka shalat menjadi sah.
4.  Kata-kata Mutlak dan Muqayyad
Sesuatu kata-kata kadang-kadang disebutkan dalam satu tempat dengan bentuk mutlak, artinya disebutkan tanpa batasan-batasan tertentu, seperti kata-kata "tiga hari". Kemudian kata-kata tersebut disebutkan di tempat lain dengan bentuk muqayyad, artinya memakai batasan-batasan tertentu, sehingga dapat mengurangi daerah penerapannya seperti kata-kata "tiga hari berturut-turut." Contoh dalam hal ini, misalnya kata-kata "raqabah" (hamba sahaya) pada surat Annisa ayat 92.
$tBur šc%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& Ÿ@çFø)tƒ $·ZÏB÷sãBžwÎ) $\«sÜyz 4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B#n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr&
Artinya: "Barang siapa membunuh orang mukmin karena tidak sengaja, maka atasnya membebaskan seorang hamba sahaya mukmin dan diyat (denda) yang diserahkan kepda keluarganya. " (Annisa/4: 92)

Kata-kata hamba sahaya mukmin ini menunjukkan "muqayyad", sedangkan dalam surat lain disebut kata hamba sahaya dengan tidak menyebut mukmin, jadi "mutlak" sobagaimana dalam surat Almujadalah ayat 3 :
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèOtbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ãƒÌóstGsù 7pt7s%u `ÏiBÈ@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ
Artinya: "Mereka yang menyhar (mempersamakan istrinya dengan orang perempuan mahramnya) istrinya, kemudian menarik kembali kata-katanya, maka atasnya membebaskan seorang hamba sahaya, sebelum keduariya bercampur. " (Almujadalah/58: 3)

Kalau kita perbandingkan antara kedua ayat tersebut, maka ternyata bahwa hukum kedua ayat tersebut adalah sama yaitu pembebasan hamba sahaya, tetapi sebab adanya hukum tersebut berbeda, karena ayat yang pertama mengenai pembunuhan yang tidak disengaja, sedangkan ayat yang kedua mengenai zihar kepada istrinya. Maka menurut ulama-Hanafiah dan Malikiah. antara kedua ayat tersebut tidak perlu dipertalikan. Jadi kewajiban pembunuhan tidak sengaja ialah membebaskan hamba sahaya mukmin, sedangkan kewajiban pada zihar membebaskan sembarang hamba sahaya. Sebaliknya menurut ulama-ulama Syafi'iah, kata-kata mutlak harus dibawa kepada kata-kata muqayyad. Jadi kewajiban pada zihar adalah membebaskan hamba sahaya yang mukmin, sebagaimana pembunuhan yang tidak disengaja.
5.  Mafhum Mukhalafah
Kalau sesuatu hukum dipertalikan dengan sesuatu sifat (keadaan), atau syarat atau ghoyah (perhinggaan) atau bilangan tertentu, apakah bisa ditarik kesimpulah bahwa perkara-perkara lain yang tidak mempunyai sifat. atau syarat atau ghoyah atau bilangan tertentu, mempunyai hukum scbaliknya (hukum kebalikan)? Contoh mafhum mukhalafah dan sifat ialah hadis yang berbunyi: "Pada kambing yang digembalakan ado. zakatnya. "
Menurut Syafi'i dan Hanafi, penyipatan kambing dengan kata "digembalakan" menunjukkan bahwa yang tidak digembalakan tidak dikenakan zakat. Jadi mereka memakai mafhum mukhalafah. Menurut Imam Malik, kambing baik digembala maupun tidak tetap ada zakatnya. Jadi ia tidak memakai mafhum mukhalafah.
6. Fahwal Khitab/Mafhum Muwafaqah
Fahwal khitab ialah penunjukan sesuatu nash atas adanya sesuatu hukum dari perkara yang disebutkan untuk sesuatu yang tidak disebutkan dan yang seimbang atau lebih utama daripada yang disebutkan, karena alasan adanya hukum tersebut pada kedua-duanya. Perluasan sesuatu hukum dari perkara yang disebutkan kepada perkara yang tidak disebutkan masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Fuqaha mazhab Syafi'i mengakui perluasan tersebut, sedang fuqaha mazhab Hanafi tidak mengakuinya. Sebagai contoh ialah tentang pembebasan hamba sahaya pada pembunuhan yang tidak disengaja, sebagaimana ayat di atas. Berdasarkan bunyi ayat tersebut, maka kifarat bagi yang berupa pembebasan hamba sahaya mukmin dikenakan terhadap pembunuhan karena tidak sengaja. Akan tetapi, menurut fahwal khitab (mafhum muwafaqah) kifarat tersebut juga dikenakan kepada pembunuhan yang disengaja, karena kedua macam pembunuhan tersebut sama-sama memerlukan ala( pelebur dosanya, atau sama-sama kualifikasinya yaitu pembunuhan. Perbedaan yang ada antara keduanya ialah hanya sengaja dengan tidak sengaja saja, dan perbedaan semacam ini tidak perlu menimbulkan perbedaan dalam penetapan kifarat, bahkan pada pembunuhan sengaja keperluan terhadap alat pelebur dosa lebih besar lagi, karena dosa pada pembunuhan tidak sengaja hanya timbul dari kurang hati-hati. Demikianlah pendirian ulama-ulama Syafi'iyah. Menurut Ulama-ulama Hanafiyah, Ahmad, dan Maliki, pembunuhan dengan sengaja tidak ada kifaratnya, sebab dosa antara yang disebut (tidak sengaja) dengan dosa yang tidak disebut (sengaja) tidak sama. Dosa pembunuhan sengaja tidak bisa dilebur dengan ibadah, yaitu kifarat, sebab kifarat hanya bisa melebur dosa yang memang pada dasamya bisa hilang. Di sampmg itu kifarat mengandung arti hukuman (pembalasan) yang dimaksudkan sebagai pengajaran agar tidak mengulang kembali apa yang dilarang.
7.  Istisna Sesudah Serangkaian Perkataan
Kalau sesudah menyebutkan beberapa ketentuan hukum (serangkaian perkataan), kemudian diikuti pengecualian (istisna), maka ketentuan hukum mana yang harus dikenakan pengecualian tersebut. Seperti ayat Alquran sebagai berikut.
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèOóOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s?öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèdtbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ  

Artinya: "Mereka yang menuduh (memfitnah telah berbuat zina) orang-orang perempuan yang baik-baik. kemudian ia tidak mendatangkan empai orang saksi, maka jilidlah mereka delapan puluh kali. Dan janganlah kamu terima persaksian mereka selamanya. Mereka adalah orang-orang yang fasiq. Kecuali mereka yang bertaubat." (Q.S.Annur/24:4)

Di sini ada tiga kctentuan hukum, yaitu hukuman jilid, penolakan persaksian, dan kefasikan. Kemudian ada pengecualian, yaitu mereka yang taubat. Menurut sebagian fuqaha, pengecualian tersebut dipertalikan kepada tiga ketentuan hukum tersebut semuanya karena ke tiga ketentuan hukum tersebut bernilai sama. Di antara mereka ialah As-Syi'bi, ia mengatakan bahwa orang yang memfitnah apabila sebelum dijatuhi hukuman had (80 jilid) telah bertaubat, maka ia tidak dijatuhi hukuman had, diterima persaksiannya dan tidak dicap sebagai orang fasik. Sebagian fuqaha lain berpendapat bahwa pengecualian tersebut dipertalikan kepada dua ketentuan hukum terakir. Oleh karena itu, apabila orang tersebut bertaubat, maka hukuman had tetap dijatuhkan. Akan tetapi, persaksiannya dapat diterima dan kualifikasi sebagai orang fasiq terhapus. Menurut fuqaha Hanafiah, pengecualian pada ayat tersebut hanya dipertalikan kepada ketentuan hukum yang terakhir, yaitu yang dengan langsung berhubungan dengan pengecualian. Dengan demikian, maka orang yang memfitnah tersebut dijatuhi hukuman had dan ditolak persaksiannya, meskipun ia telah bertaubat. Akan tetapi, dengan taubamya itu kualifikasi fasiq terhapus. Perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada perbedaan pendirian tentang tempat mempertalikan pengecualian.

D. ALIRAN-ALIRAN DALAM HUKUM ISLAM
Pada pembicaraan-pembicaraan yang telah lewat sudah disebutkan bahwa perbedaan pendapat tentang hukum-hukum Islam baru terjadi setelah Rasulullah saw., wafat sebagai akibat perlunya penerapan nash-nash hukum yang telah ada, berupa Alquran dan hadis, terhadap peristiwa-peristiwa baru yang timbul dan memerlukan penentuan hukumnya. Perbedaan tersebut adalah suatu hal yang wajar, karena keadaan mereka tidak sama tentang pengetahuan dan pemahaman terhadap nash-nash syari'at dan tujuan-tujuannya, selain karena perbedaan tinjauan dan dasar-dasar pertimbangan dalam menganalisis sesuatu persoalan hukum. Para Imam Mujtahid, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Bagi Umuwan, selain imam mazhab yang empat itu, juga mereka kenal seperti Imam Daud Adz-Dzahiri, Syi'ah Zaidiyah, Syi'ah Imamiyah, dan mujtahid lainnya. Akan tetapi, untuk mengetahui pemikiran masing-masing imam mazhab itu sangat terbatas. Bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazhab tertentu saja. Hal ini disebabkan karena pengaruh lingkungan alau karena ilmu yang diterima hanya dan ulama atau guru yang, menganut suatu mazhab saja. Mengenai suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi hendaknya jangan menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang bersumber dari Alquran dan hadis. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak panatik kepada satu mazhab. Untuk mengenal tokoh-tokoh, pikiran-pikiran dan pengaruhnya kepada kaum muslimin, maka perlu disebutkan sccara singkat tentang mazhab-mazhab tersebut, terutama empat mazhab yang terkenal di Indonesia.

Punca berlakunya perbedaan pendapat dalam kalangan Umat Islam

SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KHILAFIAH
(PERBEDAAN PENDAPAT)



Ada beberapa sebab yang mengakibatkan munculnya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Ikhtilaf al-Qira-at; ( اختلاف القراءات)
Ikhtilaf al-Qira-at  adalah perbedaan dalam cara membaca nash al-Qur’an. Sebagai contoh pada bacaan ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang cara berwudu, khususnya dalam membasuh kaki; apakah kaki itu wajib dibasuh atau cukup diusap saja. Adanya perbedaan hukum mengenai wajib tidaknya membasuh kaki ini disebabkan adanya perbedaan dalam membaca nash al-Qur’an[1] berikut ini:

يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَ ةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُئُووْسِكُمْ وَأَرْجُلكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Ulama berbeda pendapat dalam membaca nash ayat tersebut, khususnya pada kata ” وأرجلكم “  .
Imam Nafi’, Ibnu ‘Amir dan al-Kisa-i membaca kata وأرجلكم dengan me-nashab-kan, yakni وَأَرْجُلَكُمْ . Bacaan ini mengandung konsekwensi hukum wajibnya membasuh kedua kaki pada saat wudu, karena menjadi ‘athaf (mengikut) pada perintah membasuh muka dan kedua tangan.
Sedangkan Ibnu Katsir, Abu ‘Amr dan Hamzah membaca kata وأرجلكم dengan men-jarr-kan, yakni وَأَرْجُلِكُمْ . Bacaan ini mengandung konsekwensi hukum wajibnya mengusap kaki ketika melakukan wudu, karena menjadi ‘athaf (mengikuti) pada perintah mengusap kepala.

Dengan adanya perbedaan bacaan terhadap nash tersebut, khususnya pada kataوأرجلكم   maka mengakibatkan perbedaan hukum dalam berwudu. Yang pertama berpendapat bahwa kaki itu wajib dibasuh, sedangkan yang kedua berpendapat bahwa kaki itu wajib diusap saja.
Tentang ini, mayoritas ulama lebih cenderung pada pendapat yang pertama, yakni wajib membasuh kaki ketika melakukan wudu. [2]
 2.      ‘Adam al-Iththila’ ‘ala al-Hadits; (عدم الا طلاع على الحديث)
       Yang dimaksud dengan ‘Adam al-Iththila’ ‘ala al-Hadits adalah tidak mendapatkan suatu hadits dalam masalah hukum tertentu.  Hal ini terjadi karena tingkat pengetahuan para sahabat Nabi berbeda-beda. Ada yang banyak menguasai hadits atau sunnah Nabi, ada juga yang hanya sedikit saja. Di samping itu adakalanya, ketika Nabi sedang menyampaikan keterangan tentang sesuatu hukum, sebagian sahabat tidak hadir, sehingga tidak mengetahui tentang hukum suatu masalah. Akibat tidak seragamnya pengetahuan sahabat Nabi tentang hadits itu menyebabkan mereka berbeda dalam menetapkan suatu hukum.
       Sebagai contoh, pada suatu ketika seorang sahabat Nabi Saw yang bernama Abu Bakr (sahabat kecil) mendengar Abu Hurairah berkata: 

مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُباً فَلاَ يَصُمْ

Artinya:“Barangsiapa masuk waktu subuh masih dalam keadaan junub, maka puasanya tidak sah”.

        Ketika mendengar ucapan Abu Hurairah seperti itu maka oleh Abu Bakr kemudian dikonfirmasikan kepada ayahnya ( Abd al-Rahman bin al-Harits), lalu ayahnya itu tidak membenarkan apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah itu. Selanjutnya kedua orang itu datang kepada ‘Aisyah ra. dan Ummu Salamah ra. dan menanyakan persoalan tadi kepada keduanya. Lalu ‘Aisyah dan Ummu Salamah menjelaskan bahwa:

كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُباً مِنْ غَيْرِ حِلْمٍ ثُمَّ يَصُوْمُ

Artinya: “Nabi Saw pernah di pagi hari masih dalam keadaan junub, tetapi ia tetap melanjutkan puasanya”.
      Setelah itu Abu Bakr dan Abd al-Rahman bin al-Harits datang kepada Marwan dan menceritakan masalah tersebut. Lalu mereka mendatangi Abu Hurairah dan menjelaskan tentang keadaan Nabi Saw yang bertentangan dengan perkataannya tadi. Abu Hurairah bertanya: “Apakah Aisyah ra. dan Ummu Salamah ra. berkata begitu?”. Mereka menjawab, ya! Abu Hurairah berkata: “Mereka berdua tentu lebih tahu”! Setelah itu Abu Hurairah merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh kedua istri Nabi tersebut.[3]
       Terjadinya perbedaan pendapat mengenai sah tidaknya puasa bagi orang yangjunub hingga pagi hari tersebut disebabkan oleh karena tidak mendapatkannya informasi mengenai hadits dari Nabi Saw. Abu Hurairah sempat menganggap batal puasanya bagi orang yang junub hingga pagi hari, karena ia tidak mendapatkan hadits yang menerangkan tentang keabsahannya. Tetapi setelah ia mendengar ada hadits tersebut dari Aisyah dan Ummu salamah, akhirnya ia menerima pendapat yang mengatakan tetap sahnya puasa bagi orang yang junub hingga pagi hari.
3.      Al-Syakk Fi Tsubut al-Hadits; (الشك فى ثبوت الحديث)
       Yang dimaksud dengan Al-Syakk Fi Tsubut al-Hadits adalah keraguan terhadap keberadaan sebuah hadits. Hal ini menjadi bagian dari sikap kehati-hatian para sahabat dan ulama berikutnya dalam menerima hadits Nabi Saw. Mereka, para sahabat itu, tidak buru-buru mengamalkan suatu hukum sebelum jelas benar bahwa memang ada hadits dari Nabi yang menerangkannya. Jika tidak yakin terhadap keberadaan hadits maka mereka memilih tawaqquf atau diam yakni tidak mau mengamalkan sesuatu amalan yang tidak jelas dasarnya.
      Sebagai contoh kasus tentang orang yang makan atau minum di saat puasa karena kelupaan. Tentang ini, mayoritas ulama ahli fiqh berpendapat bahwa apabila ada orang yang lupa makan dan minum di saat puasa Ramadlan maka ia tidak berkewajiban mengqadlanya atau membayar denda. Para ulama ini berpendapat berdasarkan hadits dari Abu Hurairah ra. Ia berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِىَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْشَرِبَ

فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Artinya: “Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa lupa makan atau minum pada saat ia dalam keadaan berpuasa maka hendaklah ia melanjutkan puasanya, karena sesungguhnya Allahlah yang telah memberikannya makan dan minum”. [4]
            Tentang ini Imam Malik berbeda pendapat. Menurutnya, orang yang sedang berpuasa kemudian ia makan karena lupa maka batallah puasanya dan ia wajib mengqadlanya. Dalam pandangan Malik, berbuka itu adalah lawan dari berpuasa. Menahan makan dan minum adalah merupakan rukun puasa. Ia menyamakan dengan orang yang lupa jumlah rakaat dalam shalat.Karena itu jika ia lupa makan pada saat berpuasa, maka ia wajib mengqadlanya, karena mencegah makan pada saat puasa itu termasuk rukun puasa yang harus dijaga.
        Tentang hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut, Imam Malik meragukannya. Ia tidak mendapatkan hadits itu. Kalaulah ada hadits seperti itu, statusnya sebagai khabar wahid, tidak populer. Kalau ada hadits yang tidak populer kemudian bertentangan dengan kaidah-kaidah yang berlaku, maka ia tidak mau mengamalkannya.[5]
         Akibat dari keberadaan hadits yang diragukan tersebut, muncullah perbedaan pendapat. Bagi yang meyakini keberadaan hadits tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas ulama, mereka menetapkan bahwa orang yang lupa makan dan minum  ketika sedang berpuasa, tidak membatalkan puasanya dan ia tidak berkewajiban mengqadlanya. Tetapi bagi mereka yang meragukan akan keberadaan hadits tersebut, seperti Imam Malik maka ia berketetapan bahwa orang yang berpuasa lalu lupa kemudian makan maka puasanya dianggap batal.
 4.      Al-Isytirak Fi al-Ma’na; (الاشتراك فى المعنى)
       Satu kata yang mempunyai makna dua atau lebih, dalam bahasa Arab disebutlafadh musytarak. Dalam al-Qur’an , terkadang Allah   menggunakan kata-kata yang mengandung makna ganda atau yang disebut dengan “Al-Isytirak Fi al-Ma’na”. Misalnya firman Allah Swt.:
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُو ا النَّساَءَ فِى الْمَحِيْضِ  
وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang  المحيض , katakanlah bahwa dia (المحيض) itu kotor (penyakit). Karena itu maka jauhilah wanita pada المحيض . Janganlah kalian mendekatinya hingga mereka dalam keadaan suci”.[6]
Dalam bentuk mashdar, kata المحيض berarti haid. Sedangkan sebagai isim makan,المحيض berarti tempat haid yakni farj atau kemaluan. Dari sini kata المحيض jelas menunjukkan arti ganda.
 Ulama fiqh dalam memahami ayat tersebut agaknya berbeda-beda. Ada yang memahami dengan haid dan ada pula yang memahami dengan tempat haid. Hal ini  tentu berpengaruh pada penetapan hukum.
Imam Malik, Syafi’i (dalam salah satu pendapatnya), Al-Auza’i, Abu Hanifah, Abu Yusuf  dan mayoritas ulama fiqh cenderung memahami kata المحيض dengan arti haid. Dengan demikian mereka menetapkan hukum bagi suami untuk menjauhi istrinya di saat haid. Hanya mereka membolehkan menggauli istri apa-apa yang di luar batas antara lutut dan pusat. Pendapat ini beralasan pada hadits Nabi Saw bahwa suatu ketika Nabi Saw ditanya oleh paman Hakim bin Hizam yang bernama Abdullah bin Sa’ad:

مَايَحِلُّ لِىْ مِنِ امْرَئَتِىْ وَهِيَ حَائِضٌ؟ قَالَ لَكَ مَا فَوْقَ اْلإِزَارِ

 Artinya:  “Apa yang halal bagiku terhadap istriku yang sedang haid? Nabi Saw menjawab: “Apa saja yang di luar kain atau sarung”.[7]
Imam Syafi’i (dalam salah satu pendapatnya yang lebih shahih) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan  المحيض adalah tempatnya haid yakni farj atau kemaluan. Jadi yang harus dijauhi oleh suami terhadap isterinya yang sedang haid itu hanyalah tempat haid atau kemaluannya itu saja. Selebihnya boleh. Pendapat ini didukung oleh beberapa ulama, di antaranya adalah Al-Tsauri, Muhammad bin al-Hasan dan Dawud. Mereka beralasan pada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
إِنَّ الْيَهُوْدَ كَانُوْا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُوَاكِلُوْهَا وَلَمْ يُجَامِعُوْهَافِى الْبُيُوْتِ. فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِىِّ  النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُو ا النَّساَءَ فِى الْمَحِيْضِ  وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ. فَقَالَ  رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ النِّكَاحُ وَفِىْ لَفْظٍ إِلاَّ الْجِمَاعُ.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi itu apabila isteri-isterinya sedang haid, mereka tidak memberikan kepercayaan atau tidak berkumpul dengan mereka dalam satu rumah. Sahabat bertanya kepada Nabi Saw tentang hal itu lalu Allah menurunkan ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang  المحيض , katakanlah bahwa dia (المحيض)  itu kotor (penyakit). Karena itu maka jauhilah wanita pada المحيض . Janganlah kalian mendekatinya hingga mereka dalam keadaan suci”. Setelah itu Rasulullah Saw bersabda: “Kalian boleh melakukan apa saja terhadap istrimu yang sedang haid, kecuali bersetubuh”. [8]
Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, Al-Fakhr al-Razi mengatakan bahwa banyak dari kalangan sastrawan yang menduga bahwa yang dimaksud dengan kata المحيض pada ayat di atas adalah haid. Menurut al-Razi,  pemahaman tersebut tidak tepat. Yang tepat arti kata المحيض adalah tempat haid yakni kemaluan. Jika yang dimaksud dengan kata المحيضitu adalah haid maka berlaku larangan bagi suami mendekati istrinya sewaktu sedang haid. Tetapi jika kata المحيض diartikan dengan tempat haid atau kemaluan maka yang harus dijauhi oleh suami ketika istrinya sedang haid adalah farj atau kemaluannya saja, selebihnya boleh.
Jika kita menerima bahwa kata المحيض mengandung arti ganda yakni dalam artimashdar dan isim makan, maka dengan pengertian   isim makan yakni tempatnya haid atau farj lebih populer ketimbang dalam arti mashdar.[9]
5.      Ta’arudl al-Adillah; (تعارض الادلة)
Di antara sebab-sebab munculnya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh adalah “ta’arudl al-Adillah” yakni adanya dalil-dalil yang nampaknya saling bertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lain. Sebenarnya tidak ada dalil-dalil yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain, karena pada dasarnya semua dalil itu datangnya dari satu sumber yakni Allah Swt, apakah dari al-Qur’an maupun sunnah RasulNya.
Misalnya kasus tentang  menyentuh dzakar (kemaluan) sesudah wudu, apakah ia membatalkan wudu atau tidak?
Menurut ulama al-Syafi’iyah, al-Hanabilah, Ishaq dan dari Malik yang lebih populer pendapatnya mengatakan bahwa menyentuh dzakar itu dapat membatalkan wudu. Mereka ini mengambil dalil dari hadits Nabi Saw riwayat Bisrah binti Shafwan bahwasanya Nabi saw bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلاَ يُصَلِّى حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Artunya:  “Barangsiapa menyentuh dzakar-nya maka ia tidak boleh melakukan shalat sebelum melakukan wudu”.[10]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa menyentuh dzakarnya tanpa alas penutup maka ia wajib melakukan wudu”.[11]
Di antara sahabat Nabi Saw yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar itu mewajibkan wudu adalah ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah dan Sa’ad bin Abiu Waqash.
Sedangkan Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat bahwa menyentuhdzakar itu tidak membatalkan wudu. Kelompok ini menggunakan dalil dari hadits Thalq bin Ali:

أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ الذَّكَرَ فِىْ الصَّلاَةِ

 فَقَالَ: هَلْ هُوَ بِضْعَةٌ مِنْكَ.

Artinya: “Bahwasanya Nabi Saw pernah ditanya tentang orang yang menyentuhdzakarnya di waktu shalat, maka Nabi Saw mengatakan bahwa dzakar itu adalah merupakan bagian dari dirimu sendiri”.[12]

Di antara kalangan sahabat Nabi Saw yang berpendapat bahwa menyentuhdzakar itu tidak membatalkan wudu adalah ‘Ali, ‘Ammar dan Ibnu Mas’ud.
Karena dalil-dalil yang dipakai oleh kelompok satu dengan kelompok yang lain nampak ada pertentangan maka tibullah perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum. Masing-masing menganggap bahwa dalil yang dipakai itu lebih kuat. Karena itu masing-masing bertahan pada pendapatnya. Kelompok pertama berpendapat bahwa menyentuhdzakar itu membatalkan wudu. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa menyentuh dzakar itu tidak membatalkan wudu.[13]
 6.      ‘Adamu Wujudi al-Nash Fi al-Mas-alah; (عدم وجود النص فى المسألة)
Di antara penyebab munculnya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh adalah karena “Adamu Wujudi al-Nash Fi al-Mas-alah”,  tidak adanya dalil atau nash yang menerangkan tentang seuatu masalah. Misalnya kasus orang banyak beramai-ramai membunuh satu orang. Bagaimana hukumnya? Apakah semuanya dihukum bunuh atau cukup dengan dikenai denda saja?
Kasus seperti ini tidak pernah terjadi pada zaman Nabi Saw, tetapi pernah terjadi pada masa ‘Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu itu ‘Umar bin al-Khaththab menetapkan hukuman bunuh bagi semua yang terlibat dalam pembunuhan satu orang itu. ‘Umar berkata:
وَاللهِ لَوْ أَنَّ أَهْلَ صَنْعَاءَ إِشْتَرَكُوْا فِىْ قَتْلِهِ لَقَتَلْتُهُمْ أَجْمَعِيْنَ
Artinya:  “Demi Allah, kalau sekiranya seluruh penduduk Shan’a bekerja sama dalam membunuh satu orang, maka aku akan membunuh seluruhnya”.
 Di antara para sahabat yang setuju dengan keputusan ‘Umar ini adalah ‘Ali, al-Mughirah bin Syu’bah dan Ibnu ‘Abbas. Sedangkan di kalangan tabi’in antara lain Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan, ‘Atha dan Qatadah. Dan ini juga dianut oleh madzhab Malik, al-Tasuri, al-Auza’i, al-Syafi’i, Ishaq,  Abu Tsaur dan para ashhab al- ra’yi.
Adapun yang menentang pendapat ‘Umar tersebut di kalangan sahabat adalah Ibnu al-Zubair. Ia hanya menetapkan dengan hukuman diat atau denda. Ini juga merupakan pendapat al-Zuhri, Ibnu Sirin, Dawud, Ibnu al-Mundzir dan ini juga  menjadi pendapat Ahmad.
Terjadinya perbedaan pendapat tentang hukuman terhadap orang banyak yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang ini dikarenakan memang tidak ada dalil dari Nabi Saw yang menerangkannya. Karena itu masing-masing berijtihad untuk menetapkan hukum  berdasarkan ruh al-tasyri’.[14]